Sabtu, 14 Agustus 2010

majalah mimbar untan / edisi v / mimbar resensi

politik cacatkan esensi pendidikan indonesia

Judul Buku : Menggugat Pendidikan Indonesia

Penulis : Moh. Yamin

Cetakan : Januari, 2009

Penerbit : Ar-Ruz Media

Tebal : 300 Halaman

Presensi : Ermawati Puspitasari

Buku ini secara tajam dan lugas mengkritik pendidikan Indonesia yang secara garis besar mengorbankan hak-hak warga negara. Pendidikan seolah-olah hanya sebagai alat kepentingan bagi para penguasa. Pendidikan yang seharusnya berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang berkarakter, berwawasan dan berilmu sepertinya hanya sebuah permainan politik saja.

Menurut penulis buku ini, semua kesalahan berawal dari banyaknya kesalahan dalam konsep pendidikan di negeri kita. Sistem pembelajaran yang dimulai dari CBSA, KBK, hingga KTSP, belum mampu membuahkan prestasi yang memuaskan. Semua hanyalah omong kosong yang cenderung hanya memberi keuntungan bagi para pemilik kekuasaan. Ditambah lagi otonomi kampus, yang diterapkan diseluruh PTN di negeri kita ini memberi ruwet kurikulum yang harus dihadapi mahasiswa. Karena itu, tak heran apabila para pengamat, pemikir hingga para peneliti pendidikan mengatakan bahwa lembaga pendidikan saat ini sebenarnya mengabdi pada sebuah kepentingan semata dan bukan sebagai sarana pembebasan bagi kaum tertindas sehingga tak heran apabila Francis Wahono dengan beraninya mengatakan bahwa sistem pendidikan di negeri ini lebih berpola pada pendidikan model Anjing. Ironis memang!. Bahkan sangat menyedihkan mengingat bagaimana penididikan di negeri kita ini. Semua serasa bertolak belakang dari apa yang telah dicita-citakan oleh bangsa kita.

Bahkan Indonesia, terkait kualitas pendidikannya berdasarkan hasil penelitian UNDP (United Nation Development Program) berada pada tingkat 109. sementara Singapura, Malaysia, Filiphina dan Thailand berada pada angka 24 dan 34. secara tegas, potret jebloknya pendidikan di negeri ini mustahil mampu membangun karakter bangsa seperti apa yang diharapkan, karena segala infrastruktur dan suprastrukturnya sudah bobrok.

Selain menggambarkan bagaimana realita keadaaan pendidikan bangsa kita sekarang, Buku ini juga memperlihatkan bagaimana konsep pendidikan orde lama, orde baru dan orde reformasi sebagai pencerminan konsep ideal bagi pendidikan. Pada orde lama diterangkan bahwa konsep pendidikan cenderung mengarah pada asas sosialis yang mendapatkan prinsip dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa harus memandang kelas sosial baik dari kalangan atas, menengah, maupun bawah. Sedangkan konsep pendidikan ala orde baru cenderung sebagai alat kepentingan bagi para penguasa. Pada masa ini kreatifitas masyarakat pendidikan serasa dibungkam dan dipasung agar tidak bersuara lantang yang dapat membahayakan kepentingan kekuasaan para penguasa. Ditambah lagi pendidikan pada saat memasuki era reformasi belum dikatakan mampu untuk bangkit dari keterpurukan. Pendidikan di masa ini dianggap hanyalah sebuah produk kapitalis yang diharapkan dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya (Komersialisme).

Buku ini mengajak kita untuk berpikir bagaimana mungkin negara kita dapat menciptakan manusia-manusia yang berkarakter, berkualitas, berkepribadian memiliki wawasan luas sedangkan konsep yang dihadirkan hanyalah sebuah konsep yang tak ada bedanya sebuah ujicoba permainan. Penulis bisa mengatakan konsep pendidikan yang ada di negeri kita ini sebagai sebuah permainan karena kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang kerap kali berubah dengan alasan globalisasi menuju perbaikan namun adakah implementasi dari semua itu?

Dengan membaca buku ini, penulis mengajak kita sebagai regenerasi untuk melanjutkan perjuangan para pahlawan yang telah berjuang habis-habisan hingga titik darah penghabisan demi kemerdekaan bangsa dengan mengajak kita bersama-sama untuk menyelamatkan pendidikan kita dengan menata ulang kembali konsep pendidikan yang dinilai tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dimulai dari penerapan-penerapan kebijakan yang responsif, pelaksanaan yang dialogis sehingga pendidikan akan kembali pada peran awalnya yakni sebagai alat pendidikan.

Alternatif konsep pendidikan yang menarik dan ideal, terutama bagi para pembuat kebijakan-Pemerintah-dapat meniru atau belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara yang menawarkan konsep pendidikan yang memperjuangkan aspirasi masyarakat, tidak neko-neko tetapi pas dengan realita yang dihadapi masyarakat Indonesia.

  1. Pendidikan Ala Paulo Freire

Program-program pendidikan yang ditawarkan Paulo sangat progresif, seperti pendidikan orang dewasa, restrukturisasi kurikulum, partisipasi masyarakat dan seperangkat kebijakan ambisius menuju demokratisasi. Satu hal yang cukup menarik bila menelaah lebih jauh mengenai pendidikan ala Paulo Freire ini, yakni pendidikan merupakan suatu tindakan politis yang selalu melibatkan hubungan sosial dan pilihan-pilihan politik. Pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan hubungan sosial yang artinya pendidikan dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi perubahan sosial yang ada.

Oleh karenanya, mencermati konsep pendidikan yang digagas Paulo Freire ini cukup luar biasa untuk terus menerus menghidupkan konsep pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat saat ini.

Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia, membangkitkan kesadaran kritis, dan transformatif untuk mengubah nasib kehidupan yang sedang terpuruk menuju kebangkitan dan mengangkat masyarakat tertindas menuju ke kelas yang bermartabat, berkemanusiaan dan memiliki hak sama dengan masyarakat lainnya baik untuk dihormati, dihargai maupun beraktualisasi diri.

Paulo meneriakkan sebuah gagasan pendidikan perlawanan terhadap segala bentuk yang membunuh hajat hidup orang banyak tanpa memandang status sosial tertentu, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah.

Gagasan Paulo Freire ini tidak hanya menggerakkan dorongan masyarakat agar bisa membaca dan menulis kata. Lebih dari itu, Freire mengajak masyarakat agar dapat membaca dunia. Dengan kata lain, membaca kata itu merupakan jembatan menuju pembacaan dunia secara lengkap, komprehensif dan holistik.

Menurut Paulo Freire, harapan dan keinginannya dalam suatu konsep pendidikan yang diperjuangkan adalah pendidikan yang mampu memberikan warna dan arah baru perubahan struktur berfikir masyarakat dari masyarakat yang berpikiran magis dan naif menuju masyarakat yang berpikiran kritis. Karena tujuan awal pendidikan ala Paulo Freire ini adalah agar masyarakat mampu menemukan identitas dirinya tanpa meniru ataupun menjiplak orang lain.

  1. Pendidikan Ala Ki Hadjar Dewantara

Konsep pendidikan yang ditawarkan Ki Hadjar Dewantara adalah sistem pendidikan baru yang berdasarkan atas kebudayaan bangsa sendiri, mengutamakan kepentingan masyarakat, bukan mengambil kebudayaan dan perilaku hidup bangsa asing yang kemudian dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional.

Karena menurut Ki Hadjar Dewantara, konsep pendidikan bangsa asing hanya menekankan pada akal semata namun menegasikan akal budi yang dapat mempertajam kepekaan sosial terhadap sesama anaka bangsa. Konsep ini tidak sesuai dengan cermin bangsa kita. Negara kita tidak membutuhkan konsep pendidikan yang membuat kita bergantung pada bangsa lain. Bila konsep ini diberlakukan, maka dapat menghancurkan bangsa kita yang besar ini.

Satu hal yang cukup menarik terkait konsep pedidikan yang ditawarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, yakni bagaimana peran keluarga, sekolah dan masyarakat mampu menjadi motor pembentukan karakter dan mentalitas anak.

Jelas dapat diprediksi apa yang akan terjadi bila si anak hidup ditengah keluarga brokenhome, sekolah yang amburadul serta masyarakat yang diskriminatif, maka jiwa sang anak akan selalu labil, tidak berkembang, menjadi pemberontak, tidak berwawasan serta tidak bermoral.

Maka dari itu, Ki Hadjar Dewantara mengajarkan segala sesuatunya itu dari dasar. Bila bermula dari sesuatu yang baik, maka akan berbuah baik juga. Begitu juga dalam pendidikan, bila konsep yang ditawarkan sesuai dengan cita-cita bangsa kita, maka akan membuahkan manusia-manusia yang cerdas bukan hanya dari segi intelektualnya namun juga budi pekertinya.

Minggu, 20 Juni 2010

Resensi : Politik Cacatkan Esensi Pendidikan Indonesia

politik cacatkan esensi pendidikan indonesia



Judul Buku : Menggugat Pendidikan Indonesia

Penulis : Moh. Yamin

Cetakan : Januari, 2009

Penerbit : Ar-Ruz Media

Tebal : 300 Halaman

Presensi : Ermawati Puspitasari



Buku ini secara tajam dan lugas mengkritik pendidikan Indonesia yang secara garis besar mengorbankan hak-hak warga negara. Pendidikan seolah-olah hanya sebagai alat kepentingan bagi para penguasa. Pendidikan yang seharusnya berdasarkan nilai-nilai kemanusiaan yang berkarakter, berwawasan dan berilmu sepertinya hanya sebuah permainan politik saja.

Menurut penulis buku ini, semua kesalahan berawal dari banyaknya kesalahan dalam konsep pendidikan di negeri kita. Sistem pembelajaran yang dimulai dari CBSA, KBK, hingga KTSP, belum mampu membuahkan prestasi yang memuaskan. Semua hanyalah omong kosong yang cenderung hanya memberi keuntungan bagi para pemilik kekuasaan. Ditambah lagi otonomi kampus, yang diterapkan diseluruh PTN di negeri kita ini memberi ruwet kurikulum yang harus dihadapi mahasiswa. Karena itu, tak heran apabila para pengamat, pemikir hingga para peneliti pendidikan mengatakan bahwa lembaga pendidikan saat ini sebenarnya mengabdi pada sebuah kepentingan semata dan bukan sebagai sarana pembebasan bagi kaum tertindas sehingga tak heran apabila Francis Wahono dengan beraninya mengatakan bahwa sistem pendidikan di negeri ini lebih berpola pada pendidikan model Anjing. Ironis memang!. Bahkan sangat menyedihkan mengingat bagaimana penididikan di negeri kita ini. Semua serasa bertolak belakang dari apa yang telah dicita-citakan oleh bangsa kita.

Bahkan Indonesia, terkait kualitas pendidikannya berdasarkan hasil penelitian UNDP (United Nation Development Program) berada pada tingkat 109. sementara Singapura, Malaysia, Filiphina dan Thailand berada pada angka 24 dan 34. secara tegas, potret jebloknya pendidikan di negeri ini mustahil mampu membangun karakter bangsa seperti apa yang diharapkan, karena segala infrastruktur dan suprastrukturnya sudah bobrok.

Selain menggambarkan bagaimana realita keadaaan pendidikan bangsa kita sekarang, Buku ini juga memperlihatkan bagaimana konsep pendidikan orde lama, orde baru dan orde reformasi sebagai pencerminan konsep ideal bagi pendidikan. Pada orde lama diterangkan bahwa konsep pendidikan cenderung mengarah pada asas sosialis yang mendapatkan prinsip dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa harus memandang kelas sosial baik dari kalangan atas, menengah, maupun bawah. Sedangkan konsep pendidikan ala orde baru cenderung sebagai alat kepentingan bagi para penguasa. Pada masa ini kreatifitas masyarakat pendidikan serasa dibungkam dan dipasung agar tidak bersuara lantang yang dapat membahayakan kepentingan kekuasaan para penguasa. Ditambah lagi pendidikan pada saat memasuki era reformasi belum dikatakan mampu untuk bangkit dari keterpurukan. Pendidikan di masa ini dianggap hanyalah sebuah produk kapitalis yang diharapkan dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya (Komersialisme).

Buku ini mengajak kita untuk berpikir bagaimana mungkin negara kita dapat menciptakan manusia-manusia yang berkarakter, berkualitas, berkepribadian memiliki wawasan luas sedangkan konsep yang dihadirkan hanyalah sebuah konsep yang tak ada bedanya sebuah ujicoba permainan. Penulis bisa mengatakan konsep pendidikan yang ada di negeri kita ini sebagai sebuah permainan karena kebijakan-kebijakan dari pemerintah yang kerap kali berubah dengan alasan globalisasi menuju perbaikan namun adakah implementasi dari semua itu?

Dengan membaca buku ini, penulis mengajak kita sebagai regenerasi untuk melanjutkan perjuangan para pahlawan yang telah berjuang habis-habisan hingga titik darah penghabisan demi kemerdekaan bangsa dengan mengajak kita bersama-sama untuk menyelamatkan pendidikan kita dengan menata ulang kembali konsep pendidikan yang dinilai tidak sesuai dengan yang diharapkan. Dimulai dari penerapan-penerapan kebijakan yang responsif, pelaksanaan yang dialogis sehingga pendidikan akan kembali pada peran awalnya yakni sebagai alat pendidikan.

Alternatif konsep pendidikan yang menarik dan ideal, terutama bagi para pembuat kebijakan-Pemerintah-dapat meniru atau belajar dari Paulo Freire dan Ki Hajar Dewantara yang menawarkan konsep pendidikan yang memperjuangkan aspirasi masyarakat, tidak neko-neko tetapi pas dengan realita yang dihadapi masyarakat Indonesia.



1. Pendidikan Ala Paulo Freire

Program-program pendidikan yang ditawarkan Paulo sangat progresif, seperti pendidikan orang dewasa, restrukturisasi kurikulum, partisipasi masyarakat dan seperangkat kebijakan ambisius menuju demokratisasi. Satu hal yang cukup menarik bila menelaah lebih jauh mengenai pendidikan ala Paulo Freire ini, yakni pendidikan merupakan suatu tindakan politis yang selalu melibatkan hubungan sosial dan pilihan-pilihan politik. Pendidikan memiliki kaitan yang erat dengan hubungan sosial yang artinya pendidikan dapat memberikan pengaruh yang signifikan bagi perubahan sosial yang ada.

Oleh karenanya, mencermati konsep pendidikan yang digagas Paulo Freire ini cukup luar biasa untuk terus menerus menghidupkan konsep pendidikan dalam kehidupan bermasyarakat saat ini.

Paulo Freire mengatakan bahwa pendidikan bertujuan untuk memanusiakan manusia, membangkitkan kesadaran kritis, dan transformatif untuk mengubah nasib kehidupan yang sedang terpuruk menuju kebangkitan dan mengangkat masyarakat tertindas menuju ke kelas yang bermartabat, berkemanusiaan dan memiliki hak sama dengan masyarakat lainnya baik untuk dihormati, dihargai maupun beraktualisasi diri.

Paulo meneriakkan sebuah gagasan pendidikan perlawanan terhadap segala bentuk yang membunuh hajat hidup orang banyak tanpa memandang status sosial tertentu, baik dari kalangan atas, menengah ataupun bawah.

Gagasan Paulo Freire ini tidak hanya menggerakkan dorongan masyarakat agar bisa membaca dan menulis kata. Lebih dari itu, Freire mengajak masyarakat agar dapat membaca dunia. Dengan kata lain, membaca kata itu merupakan jembatan menuju pembacaan dunia secara lengkap, komprehensif dan holistik.

Menurut Paulo Freire, harapan dan keinginannya dalam suatu konsep pendidikan yang diperjuangkan adalah pendidikan yang mampu memberikan warna dan arah baru perubahan struktur berfikir masyarakat dari masyarakat yang berpikiran magis dan naif menuju masyarakat yang berpikiran kritis. Karena tujuan awal pendidikan ala Paulo Freire ini adalah agar masyarakat mampu menemukan identitas dirinya tanpa meniru ataupun menjiplak orang lain.



2. Pendidikan Ala Ki Hadjar Dewantara

Konsep pendidikan yang ditawarkan Ki Hadjar Dewantara adalah sistem pendidikan baru yang berdasarkan atas kebudayaan bangsa sendiri, mengutamakan kepentingan masyarakat, bukan mengambil kebudayaan dan perilaku hidup bangsa asing yang kemudian dimasukkan ke dalam sistem pendidikan nasional.

Karena menurut Ki Hadjar Dewantara, konsep pendidikan bangsa asing hanya menekankan pada akal semata namun menegasikan akal budi yang dapat mempertajam kepekaan sosial terhadap sesama anaka bangsa. Konsep ini tidak sesuai dengan cermin bangsa kita. Negara kita tidak membutuhkan konsep pendidikan yang membuat kita bergantung pada bangsa lain. Bila konsep ini diberlakukan, maka dapat menghancurkan bangsa kita yang besar ini.

Satu hal yang cukup menarik terkait konsep pedidikan yang ditawarkan oleh Ki Hadjar Dewantara, yakni bagaimana peran keluarga, sekolah dan masyarakat mampu menjadi motor pembentukan karakter dan mentalitas anak.

Jelas dapat diprediksi apa yang akan terjadi bila si anak hidup ditengah keluarga brokenhome, sekolah yang amburadul serta masyarakat yang diskriminatif, maka jiwa sang anak akan selalu labil, tidak berkembang, menjadi pemberontak, tidak berwawasan serta tidak bermoral.

Maka dari itu, Ki Hadjar Dewantara mengajarkan segala sesuatunya itu dari dasar. Bila bermula dari sesuatu yang baik, maka akan berbuah baik juga. Begitu juga dalam pendidikan, bila konsep yang ditawarkan sesuai dengan cita-cita bangsa kita, maka akan membuahkan manusia-manusia yang cerdas bukan hanya dari segi intelektualnya namun juga budi pekertinya.